Kabar berita terkini Ahli hukum keuangan negara, Siswo Suryanto, dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan Rp 271 triliun. Siswo mengatakan ada rumus untuk menghitung kerugian kerusakan lingkungan.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah pengusaha Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin (PT RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT sejak 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak 2017.
“Mengenai kerugian lingkungan, ahli ya. Seandainya ada peraturan yang mengatakan bahwa mengenai kerugian lingkungan, kemudian kerugian ekologi, pemulihan habitat seperti itu ahli ya. Itu ada aturan, yang ada rumusnya untuk menghitung ya?” tanya ketua majelis hakim Eko Aryanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024).
Siswo mengatakan kerugian kerusakan lingkungan menjadi tanggung jawab dan kewajiban para penambang. Namun, jika kewajiban pemulihan itu tak dilaksanakan, beralih menjadi tanggung jawab negara.
“Sehingga ada keluar angka gitu lho, ahli ya, apakah kemudian itu harus juga dibebankan kepada siapa ini ahli? Mengenai besarnya kerugian itu?” tanya hakim.
“Sebagaimana tadi saya sampaikan, seharusnya itu menjadi tanggung jawab para penambang ketika itu resmi. Tapi ketika mereka tidak melakukan, maka beralih menjadi tanggung jawab negara untuk melaksanakan pemulihan lingkungan itu,” jawab Siswo.
Hakim menanyakan batas waktu peralihan tanggung jawab atas kerugian kerusakan lingkungan ke negara tersebut. Hakim menanyakan aturan prinsip dalam hukum keuangan negara soal penanggung jawab kerugian kerusakan lingkungan.
“Kenapa kok buru-buru langsung ke negara gitu lho, kenapa tidak yang secara nyata mengakibatkan kerugian lingkungan dan itu yang dibebani? Kenapa kok tiba-tiba ke negara?” tanya hakim.
“Kepada siapa ini ? Prinsipnya, Pak? Asasnya? Harus dibebankan kepada siapa?” imbuh hakim.
Siswo kemudian memberikan penjelasan. Siswo mengatakan secara prinsip tanggung jawab atas kerugian kerusakan lingkungan akibat penambangan dibebankan kepada para penambang.
“Jadi prinsipnya yang mengakibatkan?” tanya hakim.
“Adalah yang harus menanggung,” sahut Siswo.
“Jadi pada saat apa kemudian negara mengambil alih itu? Untuk pemulihan tadi itu? Untuk parameternya apa?” tanya hakim.
“Jadi untuk sampai tiba di kerugian negara, kewajiban itu lahir, kemudian kewajiban itu diabaikan, kemudian beralih kepada negara. Jadi langkahnya seperti itu, Yang Mulia,” jawab Siswo.
“Sehingga ada keluar angka gitu lho, ahli ya, apakah kemudian itu harus juga dibebankan kepada siapa ini ahli? Mengenai besarnya kerugian itu?” tanya hakim.
“Sebagaimana tadi saya sampaikan, seharusnya itu menjadi tanggung jawab para penambang ketika itu resmi. Tapi ketika mereka tidak melakukan, maka beralih menjadi tanggung jawab negara untuk melaksanakan pemulihan lingkungan itu,” jawab Siswo.
Hakim menanyakan batas waktu peralihan tanggung jawab atas kerugian kerusakan lingkungan ke negara tersebut. Hakim menanyakan aturan prinsip dalam hukum keuangan negara soal penanggung jawab kerugian kerusakan lingkungan.
“Kenapa kok buru-buru langsung ke negara gitu lho, kenapa tidak yang secara nyata mengakibatkan kerugian lingkungan dan itu yang dibebani? Kenapa kok tiba-tiba ke negara?” tanya hakim.
“Kepada siapa ini ? Prinsipnya, Pak? Asasnya? Harus dibebankan kepada siapa?” imbuh hakim.
Siswo kemudian memberikan penjelasan. Siswo mengatakan secara prinsip tanggung jawab atas kerugian kerusakan lingkungan akibat penambangan dibebankan kepada para penambang.
“Jadi prinsipnya yang mengakibatkan?” tanya hakim.
“Adalah yang harus menanggung,” sahut Siswo.
“Jadi pada saat apa kemudian negara mengambil alih itu? Untuk pemulihan tadi itu? Untuk parameternya apa?” tanya hakim.
“Jadi untuk sampai tiba di kerugian negara, kewajiban itu lahir, kemudian kewajiban itu diabaikan, kemudian beralih kepada negara. Jadi langkahnya seperti itu, Yang Mulia,” jawab Siswo.